Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Keruntuhan Bani Umayyah dan Berdirinya Bani Abbasiyah

Sejarah Keruntuhan Bani Umyyah
Beberapa penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah :
a.       Figur Kholifah yang Lemah
Pemindahan ibu kota Madinah ke Damaskus merupakan  sebab awal munculnya faktor kelamahan ini. Sebagaimana diketahui, Damaskus merupakan bekas ibukota Kerajaan Bizantium. Akibatnya, kehidupan bangsawan Bizantium mulai mempengaruhi dan akhirnya menjadi gaya hidup keluarga Dinasti Umayyah. Mereka terbiasa menjalani kehidupan mewah dan jauh dari gaya hidup islami seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Hal ini menyebabkan figur-figur khalifah menjadi figur yang lemah. Hanya ada lima khalifah yang besar yang mampu memerintah dengan kuat. Mereka adalah Muawiyyah, Abdul Malik. Al-Walid I, Umar II dan Hisyam. Hisyam adalah negarawan kelima yang besar dari Dinasti Umayyah.
Sebelum masa Hisyam, seperti ditunjukan oleh oleh Yazid II, para khalifah bahkan menghabiskan waktu untuk berburu dan minum anggur. Mereka lebih sibuk dengan musik dan syair-syair daripada Al-Qur’an dan urusan agama. Karena harta kekayaan yang melipah, jumlah budak menjadi berlebihan. Akhirnya mereka tak bisa mengenadalikan hidupnya.
Para khalifah juga tidak bisa lagi membanggakan darah bangsawan arabnya yang murni. Yazid III adalah khalifah Islam pertama yang ibunya seorang budak belian yang dimerdekakan. Semua itu telah melemahkan semangat dan daya juang keluarga Dinasti Umayyah.
b.      Hak istimewa bangsa Arab Suriah
Umayyah bin Khalaf merupakan moyang Dinasti Umayyah yang telah lama menetap si Suriah jauh sebelum islam datang. Oleh karena itu, kehidupan dan keberlangsungan Dinasti Umayyah tidak bisa dilepaskan dari orang-orang Suriah. Selanjutnya, Dinasti Umayyah membentuk aristrokasi militer arab yang secara turun-temurun membentuk kelas-kelas sosial dan tingkatan masyarakat.
Tentara suriah adalah jantung kekuatan militer Dinasti Umayyah. Sebagai sumber kekuatan, mereka memperoleh bagaian terbesar dari harta rampasan perang. Masyarakat syuriah pada umumnya juga mendapat hal istimewa itu. Tidak mengherankan apabila kemudian terjadi kesenjangan sosial yang dalam antara masyarakat dan golongan lainnya.
Keadaan itu menimbulkan kecemburuan kaum muslim arab di Madinah, Mekkah dan Irak. Mereka memang dibebaskan dari beban membayar pajak yang dipikulkan kepada orang-orang muslim non-Arab (mawali) dan non-muslim. Akan tetapi ehidupan mereka tidak lebih baik dibanding dengan keluarga –keluarga Suriah.
Kecemburuna yang lebih besar ditunjukan oleh orang-orang muslim non-Arab pada umumnya dan lebih khusus lagi adalah orang-orang islam Persia. Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah bahkan menunjukan sikap yang bermusuhan dengan mereka. Harapan mereka untuk memperoleh persamaan dalam bidang ekonomi dan sosial pupus sudah. Kedudukan mereka bahkan diturunkan menjadi mawali, yaitu orang yang sangat tergantung nasibnya pada majikan mereka, orang-orang Arab. Mereka mengeluh atas perlakuan itu dan memandanganya sebagai hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
c.       Pemerintahan yang tidak demokratis dan Korup
Padam masa Khulafaur Rasyidin, pemilihan khalifah dilakukan secara musyawarah dan demokratis. Dalam Perjanjian ‘Amul Jama’ah antara Hasan bin Ali dan Muawiyyah, Muawiyah menyanggupi pemilihan khalifah sesudahnya dilakukan dengan musyawarah dam pemilihan demokratis dari umat islam. Namun, Muawiyyah mengingari janji itu. Ia menunjuk anaknya, Yaziz bin Muawiyyah sebagai putra mahkota dan khalifah sesudahnya. Hal ini berlangsung secara turun temurun.
Disamping mengingkari isi Perjanjian ‘Amul Jama’ah. Penunjukan itu juga berlawanan dengan prinsip senioritas dalam pemilihan pimpinan dikalangan bangsa Arab. Pemimpin adalah orang tertua dan dianggap paling mampu serta berpengalaman. Akibatnya, beberapa Khalifah Dinasti Umayyah berasal bukan dari garis keturunan Mua’awiyyah. Contohnya adalah Marwan. Keadaan menjadi lebih sulit lagi ketika Marwan juga menginginkan anaknya, Abdul Malik, sebagai khalifah sesudahnya. Selain itu, Marwan juga merencanakan Abdul Aziz anaknya, sebagai khalifah sesudahnya. Selain itu, Marwan juga merencanakan Abdul Aziz, anaknya yang lain, sesdudah khalifah sesudah Abdul Malik. Hal ini tentu membuat keadaaan di istana serta pemerintahan menjadi  tidak stabil serta mengancam kelangsungan Dinasti Umayyah. Keadaan ini membuat administrasi pemerintahan terlalaikan. Hal itu juga mendorong para pejabatnya melakukan korupsi dan mementingkan diri sendiri. Pemerinahan menjadi lamban dan tidak efesien. Rakyat makin tidak menyukai pemerintahan Dinasti Umayyah. Akibatnya, penentanganpun muncul dimana-mana.
d.      Persaingan antarsuku
Persaingan antarsuku sudah lama menjadi citra bangsa Arab. Sikap pilih kasih Dinasti Umayyah kemunculan hal itu. Suku arab terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu bangsa Arab utara yang disebut Arab Quraisy atau Mudari dan bangsa Arab Selatan yang disebut Arab Yamani atau Himyari. Dalam pertikaian itu, Dinasti Umayya mendukung suku Arab Yamani yang lebih cocok dengan mereka. Serangkaian peperangan antara dua suku Arab itu sangat memperlemah kekuatan Dinasti Umayyah.
Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
Semua kejadian diatas menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah. Sekitar awal abad ke-8 (720 M), kebencian terhadap pemerintahan Dinasati Umayyah telah tersebar luas. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermuculan. Kelompok-keompok itu adalah :
a.                  Kelopok uslim non-Arab (mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab
b.                  Kelompok Khawarij dan Syi’ah yang menganggap Dinasti Umayyah sebagai perampas khilafah
c.                  Kelompok muslim non Arab di Mekah, Madinah dan Irak yang merasa sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah
d.                 Kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab yang memandang keluarga Dinasti Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup islami.
Kelompok-kelompok tersebut membentuk suatu kekuatan gabungan yang dikoordinasi oleh keturuan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Untuk mencari dukungan masyarakat luas, kelompok Dinasti Abbasiyah melakukan propaganda yang mereka sebut sebagai usaha dakwah. Gerakan dakwah dimuali ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa (717-720 M). Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Dinasti Abbasiyah untuk menusun dan merencanakan kegiatannya di al-Humaymah.
Pemimpin gerakan dakwah waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia kemudian digantikan oleh ankanya, Muhammad. Ia memperluas gerakan Dinasti Abbasiayh dan menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu adalah al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisai. Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 743 M dan digantikan oleh anaknya, Ibrahim al-Imam. Ia kemudian menunjuk seorang Khurasan sebagai panglima perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani.
Abu Muslim al-Khurasani adalah pemuda yang menampakan bakat kepemimpinan dan keberanian yang luar biasa. Padahal, pada waktu ditunjuk sebagai panglima oleh Ibrahim al-Imam, ia baru berusia 19 tahun. Ia mencapai sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk dari sekitar 60 desa di sekitar Merv. Banyak tuan tanah di Persia (dikhan) yang mengikutinya. Ia berkampanye untuk memunculkan rasa kebersamaan diantara golongan alawiyyin (keturuan Ali), golongan Syiah dan orang-orang Persia untuk menentang Dinasti Umayyah yang telah menindas mereka. Abu Muslim al-Khurasani mengajak mereka bekerja sama dengan gerakan Abbasiayah untuk mengembalikan kekhalifahan kepada golongan Bani Hasyim, baik dari keturunan Abbas bin Abdul Mutholib maupun keturunan Ali bin Abi Talib.
Sebelum Abu Muslim al-Khurasani diangakt menjadi panglima, gerakan dakwah dialakukan secara diam-diam. Para dai dikirim ke berbagai penjuru wilayah islam dengan menyamar sebagai pedagang atau jamaah haji. Hal itu dilakukan karena belum berani melawan Dinasti Umayyah secara terang-terangan. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diangkat menjadi panglima, Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim al-Khurasani untuk merebut Khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah pada tahun 747 M. Rencana ini diketahui oleh penguasa Dinasti Umayyah. Ibrahim al-Imam diatangkap dan dihukum mati oleh Khalifah Marwan II. Kepemimpinan gerakan dakwah Dinasti Abbasiah kemudian dipegang oleh saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal sebagai Abu Abbas as-Saffah. Ia tetap membari kepercayaan kepada Abu Muslim al-Khurasani untuk menjadi panglima perangnya dan memimpin perlawanan di Khurasan. Sementara itu, Abu Ja’far al-Mansur, Isa bin Musa bin Muhammad dan Abdullah bin Ali memimpin gerakan di Kufah, Damaskus, Palestina, Yordania dan daerah bagian barat wilayah Dinasti Umayyah.
Abu Muslim Al-Khurasani segera memulai gerakannya. Dengan pandai, ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qurays dan suku Arab Yamani yang sudah berlangsung sejak zaman Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pada masa itu, orang-orang Yaman mendapat kedudukan yang baik di Khurasan. Hal ini disebabkan Gubernur saat itu berasal dari suku Arab Yamani, yaitu As’ad bin Abdullah al-Qasri. Sementara itu, orang-orang Arab Qaisy disisihkan dari pemerintahan sehingga mereka tidak menyukai orang-orang Yamani. Sebaliknya, ketika Gubernur Khurasan dijabt oleh orang-orang Arab Qaisy, orang-orang Yamani disingkirkan.
Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai geraknnya, Gubernur Khurasan dijabt oleh Nasr bin Sayyar yang berasal dari suku Arab Qaisy. Abu Muslim al-Khurasani kemudian mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba, Gubernur Nasr bin Sayyar berhasil dikalahkan. Dengan bantuan orang-orang Yamani pula, Abu Muslim al-Khurasani berhasil menduduki Kota merv dan Nisabur.
Sementara itu, tentara Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Kahtaba, seorang Jendral Abu Muslim al-Khurasani, maju ke sebelah barat. Ia didampingi oleh Khalid bin Barmak, pendiri wangsa Barmakid. Mereka menyeberangi sungai Eufrat dan sampai ke medan Karbala, tetapi Hesain bin Ali gugur dalam pertempuran. Pertempuran dasyatpun berkobar. Gubernur Dinasti Umayyah di Irak yang bernama Yazid berhasil dikahkan. Namun, Kahtaba gugur dalam pertempuran itu. Komando di ambil alih oleh Husain bin Kahtaba. Tentara Dinasti Abbasiyah akhirnya berhasil menguasai Kufah.
Di bagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Pada tahun 749 M, putra Khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayun, seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan dinastinya. Ia mengerahkan 120.000 tentaranya dan menyebrangi Sungai Tigris serta maju menuju Zab Hulu atau Zab Besar. Tentara Bani Abbasiyah dipimpin oleh  Abdullah bin Ali. Tentara Dinasti Umayyah berhasil dikalahkan. Marwan II melarian diri dan Damaskus pun ke tangan Dinasti Abbasiyah. Marwan II diburu dari satu tempat ke tempat lain. Ia ditemukan di Mesir dan dibunuh disana.

 Abu Abbas as-Safah kemudian dibaiat sebagai Khalifah di masjid Kufah pada tahun 750 M. Menurut para ahli sejarah, perpindahan kekhalifahan dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah lebih dari sekedar pergantian dinasti. Kejadian itu merupakan Revolusi dalam sejarah Islam, yaitu suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Prancis dan Rusia dalam sejarah barat.