Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Zahwa

Zahwa melirik arloji di tangan kirinya. Ups, Charles Jourdannya itu menunjukkan pukul 11.00 waktu Paris. Sebentar lagi pesawat yang membawanya dari kota mode dunia tersebut akan tiba di Bandara Ratu Noor, Yordania. Ditutupnya buku "The End Of The Nations" karya Kenichi Ohmae yang sedari tadi menjadi teman seperjalanannya. 
Masih lumayan jauh jarak yang harus ditempuh. Dari Yordan Zahwa masih harus lewat jalan darat lagi menuju Gaza, Palestina. Ah, ia sangat rindu pada tanah kelahiran yang telah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya itu! "Proses perdamaian hampir sempurna, anakku," begitu kata Papa Kareem saat menjenguknya di Paris. "Arafat yang sabar, dan simpatik itu dengan dukungan rakyat akan menjadi presiden di tanah merdeka kita," ujar pria setengah abad, pengusaha Palestina sahabat Arafat, sekaligus sosok ayah yang sangat dikaguminya itu. 
"Mon Dieu! Tentu saja kau boleh pulang. Tetapi apa kau yakin di sana tak lagi ada tragedi-tragedi kebencian?" tanya Mommy sebulan lalu. Kekhawatiran masih menyelimuti wanita Perancis yang sejak sepuluh tahun lalu tak lagi mau tinggal di Palestina ini. Tetapi tekad Zahwa telah bulat. Ia harus dan kan kembali. Apalagi beberapa waktu lalu ia bertemu langsung dengan Arafat! Ketika itu pemimpin PLO tersebut tengah mengantar Madame Suha istrinya ke boutique milik Mommy. Ya, Zahwa tak akan pernah lupa kata-kata yang diucapkan Arafat padanya waktu itu. 
"Anak yang cerdas, Madame. Palestina merdeka membutuhkannya. Saya berharap anak saya yang juga bernama Zahwa kelak akan seperti anda, Mademoiselle!" 
Sungguh, Gaza hampir tak berubah. Kota di Tepi Barat sungai Yordan in masih saja kumuh seperti sepuluh tahun lalu, saat Zahwa meninggalkannya untuk menuntut ilmu di Perancis. Hanya saja kini terdapat sejumlah lelaki berseragam dan mengenakan pet coklat. Sambil menyandang senapan AK-47, atau pistol, mereka sibuk mengatur lalu lintas. 
"Polisi Palestina!", tebak Zahwa sambil tersenyum. Bagus, pikirnya, telah ada militer resmi di Palestina. "Kini tiap orang tak perlu bersikap radikal seperti HAMAS dengan intifadhahnya," guman Zahwa. "Mereka terlalu Keras dan tak mau menenpuh jalan damai. Mengerikan bila melihat kenekadan mereka selama ini!" cerita Papa Kareem suatu ketika. Zahwa setuju. Ia masih ingat tayangan televisi CNN setahun lalu. Bulu kuduknya meremang mengingat tubuh-tubuh orang Yahudi yang cerai berai ketika bis mereka diledakkan anggota Hamas di tengah kota Tel Aviv. 
"Anda mahasiswi politik bukan?" tanya Arafat padanya waktu itu. "Strategi politik yang tepat untuk menghadapi Israel adalah dengan kompromi damai. Tak mengapa hanya Jericho, Jenin dan Gaza yang dikembalikan pada kita. Kita ikuti dulu permainan ini. Kelak berkat kesabaran bahkan Yerusalem akan kembali pada kita!" 
Zahwa terus berjalan. Sesekali dara berusia dua puluh dua tahun ini memergoki pandangan menyelidiki dari warga setempat. Ia pernah mendengar bahwa hubungan antar warga di sini sangat baik, dan mereka saling mengenal satu sama lain. Tapi Zahwa merasa bukan orang asing di sini. Atau karena kaos dan jeans belelnya" 
"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KKULLUNA SHOLAHUDIN!" 
Suara itu begitu bergemuruh! Zalwa terperanjat saat menoleh ke arah datangnya suara!!! Matanya benar2 terbelalak!! 
"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KULLUNA YAHYA AYYASH!" 
Dibelakangnya terlihat pemandangan luar biasa! Lautan manusia dengan langkah gagah berjalan menuju ke arahnya. Teriakan takbir tiada henti terdengar! Ada apakah? 
Zahwa menyingkir. Rasa takut dan takjub bercampur aduk dalam hatinya. Belum pernah ia melihat lautan manusia yang begitu mengelora seperti ini. Dan mereka semuanya bertakbir! Kini rombongan itu melintas di depannya. Zahwa melihat sesosok tubuh berselimut kafan yang dijunjung oleh sekitar delapan lelaki! Lelaki yang lain berjalan paling depan sambil memegang pengeras suara, memimpin yang lain untuk bertakbir dan meneriakkan yel-yel. 
'KHAIBAR-KHAIBAR YA YAHUD! JAISYU MUHAMMAD SAUFA YA'UUD!!" 
Rasa ingin tahu Zahwa berkecamuk. Mereka? Jelas warga Palestina. Tua muda bahkan kana-kanak. Ya, kanak-kanak! Dan mayat itu? Ya Allah, lautan manusia mengantarnya! Ribuan orang.., ah bukan, tidak, tetapi ratusan ribu orang! Dan dalam setiap lajur jalan, bertambah lagi jumlah para pengantar itu! "Maaf, mayat siapakah itu?" tanya Zahwa pada seorang wanita tua berabaya hitam yang lewat di hadapannya. Wanita itu memandang Zahwa dengan tatapan tajam dan aneh. Mata merahnya yang terlihat garang tampak basah. "Inilah As Syahid Yahya Ayyash! Mujahid berbudi, musuh nomor satu Yahudi sekarang ini!" katanya sambil menangis lagi dan terus berjalan. "Hamas! Hamas!" Hamas!" Serunya mengepalkan tangannya yang keriput sebelum berlalu. 
Zahwa tertegun sejenak. Iring-iringan ini bagaikan air yang mengalir tiada henti. Panjang sekali! Dan..Hamas? "Maaf, siapakah yang wafat ini?" tanyanya. Kali ini pada seorang pemuda. Pemuda itu tampak sendu, namun rahangnya memendam kegeramanan dan kebencian! Zahwa agak takut melihat reaksinya! "Apakah kau mencintai tanah ini? Jika ya, tentu kau membenci 80 Yahudi pembuat makar! Kini Mossad membunuh sang Insinyur ini!! Dan pemuda itu pun berlalu begitu saja sambil bertakbir. 
Zahwa mulai faham. Ia pernah mendengar julukan 'the Engineer' dalam peristiwa peledakan bus di Tel Aviv. Sang Insinyur adalah julukan dinas keamanan Yahudi untuk dalang peledakan dashyat yang mencoreng muka Mossad dan Shin Bet (Dinas keamanan Yahudi) itu. "Oo, jadi Yahya Ayyash adalah sang Insinyur,' guman Zahwa. Bakat ingin tahunya muncul. Alih-alih bergegas pergi, ia mulai memperhatikan keadaan. Ratusan ribu orang ini tampak mewakili hampir seluruh penduduk Palestina. Bagaimana orang Hamas seprti Yahya Ayyash bisa mempengaruhi mereka? Belum pernah Zahwa melihat atau mendengar kejadian seperti ini. Seorang Palestina yang kepergiannnya diiringin lautan manusia dengan penuh ta'zim!! Luar biasa! Tiba-tiba Zahwa ingin sekali bergabung dalam lautan manusia itu. Hati kecilnya berperang antara godaan rasa ingin tahu dan kerinduan pada keluarganya. Dan...ya, itu ada sepasukan polisi Palestina!! 
"Maaf, mayat siapa itu dan apa yang terjadi?" "Yahya Ayyash! Kami tak bisa membendung arus manusia ini!" kata seorang di antar mereka. "Sebenarnya kami diperintahkan untuk menangkap mereka. Tetapi bagaimana mungkin?" jelas seorang opsir yang tampak panik. 
Melihat wajah opsri 'panik' itu, Zahwa menghela nafas sambil menahan senyum. Ia rindu papa Kareem Abror. Rasa itu mengalahkan rasa ingin tahunya. Dengan berat hati, Zahwa menyeret langkahnya pulang. Takbir para pengiring jasad Ayyash masih bertalu-talu di telinganya. 
Malam harinya Zahwa melihat berita yang dipancarkan stasiun Israel. Dilihatnya di tivi betapa warga Yahudi menari dan bernyanyi atas kematian pemuda berumur dua puluh sembilan tahun itu, seakan kesedihan akibat kematian Rabin sirna seketika. Ketika kemudian papa Kareem pulang, dilihatnya wajah beliau biasa. Tak sedih seperti orang-orang Palestina yang ditemuinya. "Yahya Ayyash adalah anggota Hamas yang kerap berusaha menggagalkan negosiasi perdamaian," begitu komentar papa Kareem. "Tapi..pemandangan yang saya lihat tadi luar biasa. Bila Hamas bukan gerakan rakyat atau minimal mendapat dukungan rakyat..., tak mungkin Yahya Ayyash mendapat penghormatan sehebat itu! Saya...jadi bingung, papa..." Papa Kareem mengangkat bahu. Cuma itu. Zahwa kecewa. 
Pemilu perdana Palestina merdeka tak lama lagi. Papa Kareem tampak sangat sibuk. Entah apa yang dikerjakan beliau. Yang jelas papa tampak antusias. "Papa akan membantu dana kampanye. Bila Arafat menjadi presiden, mungkin papa akan menjadi salah satu menteri. Paling tidak anggota parlemen," kata beliau. 
"Tapi mengapa warga Gaza banyak yang tak peduli pada Pemilu ini?" tanya Zahwa. "Dari mana kau tahu? Itu tak benar." Zahwa menggaruk kepalanya. "Hampir tiap sore saya keliling dengan mobil pemberian papa itu. Sungguh, tak ada yang mencolok. Bahkan warga Gaza seolah malas membicarakannya." "Sudahlah! Kita menjadi warga negara yang baik saja. Setuju?" Zahwa diam saja, berusaha tersenyum. 
Hari in Zahwa kembali berkeliling. Besok sudah pemilu. Dan seperti hari-hari sebelumnya ia hanya melihat kesibukan polisi dan para pegawai Otorita Palestina. Di antaranya menghapus grafiti-grafiti pro Hamas. Heran, hari ini dihapus, besok selalu ada lagi. "Kali ini kami menjaga setiap tembok yang ada semalaman, nona!" ujar mereka ketika disapa. Mobil Zahwa terus melaju..tiba-tiba..CIIIITTTT! Zahwa me-rem mobilnya kuat-kuat. Seorang ibu muda dengan tiga anaknya melintas! Hampir saja! Zahwa segera turun. Dilihatnya ibu muda itu menarik tangan anak-anaknya menjauhi mobil. 
"Assalamu'alaikum, maaf ummu!" sapa Zahwa. Wanita berjilbab putih itu menjawab salam. Dan ketika ia akan berlalu...Zahwa tersentak! Wajah itu! Ya Allah! Tak mungkin Zahwa bisa melupakannya.!! "Sarah?" Ibu muda yang dipanggilnya menoleh terkejut. "Ya Allah Sarah.., kau tak ingat padaku?! Aku Zahwa. Temanmu saat di tsanawiyyah Al Birru!"" Sarah terbelalak!" Subhanalloh!" ucapnya. "Zahwa!" Mereka pun berpelukan. "Siapa nama anak-anak ini?" tanya Zahwa. Kini dara Palestina itu baru melihat sosok ketiga anak temannya dengan cermat. Anak yang paling besar sekitar delapan tahun ternyata pincang. Yang lain memiliki luka bakar membekas sekujur tubuh, sememntara anak yang paling kecil dan masih balita..tampaknya...mengalami patah tulang mencolok, sehingga harus selalu digendong! Benar!! 
"Yang paling besar Muhammad, yang kedua Hisyam dan adiknya Haikal," Sarah terus tersenyum cerah. "Allahu Akbar, sepuluh tahun lebih kita tak bertemu." "Ya, sampai kini, kau tetap sahabatku yang paling baik. Tak ada temanku yang bisa setulus dan sebaik engkau!" kata Zahwa. Tetapi pikirannya melayang pada ketiga anak-anak itu. Mengapa? Mengapa ketiga anak Sarah ini cacat??! "Ayo ke rumahku, Zahwa!" Tak lama Corolla itu pun melaju menuju rumah Sarah. 
Rumah Sarah sederhana namun sejuk, itu yang dirasakan Zahwa ketika pertama melangkahkan kakinya ke rumah Sarah. Tak ada hiasan lain kecuali kaligrafi. "Ini suamimu?" tanya Zahwa saat menatap satu-satunya foto yang ada di ruangan itu. Sarah mengangguk. "Mana dia? Bekerja?" Sarah menggeleng. "Mahmud syahid." 
Zahwa bagai disengat listrik!" Polisi Palestina?" Bagaimana mungkin?" "Suamiku mengetahui konspirasi rahasia antara Mossad dan Musa Arafat, kepada polisi Palestina, untuk membunuh Ayyash," tutur Sarah datar. "Ia mencoba memberitahu Ayyash, namun anak buah Musa Arafat menjebak, dan menembaknya mati." Keduanya terdiam. Hening. 
Zahwa tenggelam dalam kenyataan yang menyakitkan. Ia sudah memperkirakan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tapi apa yang ia dengar melampaui semua perkiranannya. Sarah tersenyum," Sepuluh tahun kau tak di sini. Negeri ini masih mempertahankan kemuliannya walau para musuh Allah tak henti membuat makar. Perdamaian dan pemilu yang digembar gemborkan itu semu semata." "Tetapi.." 
"Zahwa, satu-satunya yang masih dipercaya oleh rakyat hanyalah Hamas! Mungkin selama di Perancis, kau banyak mendengar berita sumbang tentang Hamas. Seolah hamas adalah gerakan teroris yang tak berperikemanusiaan! Percayalah, Zionis Israel-lah yang biadab! Lebih dari yang bisa kita bayangkan! Kau lihat Muhammad, Hisyam dan Haikal? Mereka korban kebiadaban dan kepengecutan pasukan Israel..." "Hah?" Hati Zahwa seperti dihantam palu godam! Sarah berkata dengan lembut namun menggetakan hati "Bukankah Allah berfirman dalam Al Quran, orang-orang yahudi tak akan rela sampai kita mengikuti mereka. yahudi juga suka mengubah perjanjian. Mereka tak mau memberikan kurma untuk kaum muslimin, apalagi sebuah negara! Maha benar Allah!" "Tapi ..PLO, Arafat..berusaha..damai..." "Zahwa, bukankah kau sarjana ilmu politik? Belumkah jelas bagimu bahwa orang yang kau kagumi itu tak lebih hanya perpanjangan tangan Zionis untuk mengkotak-kotak dan menbinasakan kita?" Mereka berdua lalu larut dalam pembicaraan panjang. Zahwa agak terkejut melihat Sarah begitu mengasai berbagai hal tentang Palestina. Tiba-tiba Zahwa resah. Resah sekali! 
Saat pulang, ia kemudikan mobilnya dengan lambat. "Media-media dunia selalu berkata jelak tentang Hamas dan mengelukan kebijakan Arafat yang sebenarnya diarahkan Israel dan Amerika itu," kata-kata Sarah tergiang-giang di benaknya, "Apa yang diberitakan tak sesuai dengan kenyataan! Bahkan anakku hanyalah contoh dari banyak korban lainnya!" 
Bodohnya aku selama ini! Pikir Sarah. Kesadaran baru mulai mengisi hatinya. Perasaan gusar sendri. Geram! Percuma saja selama ini ia belajar politik tetapi buta terhadap kenyataan politik yang ada. Dan...subhanalloh, ia malu pada Sarah! Ia malu pada Palestina negrinya tercinta karena tak pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi selama ia pergi. Sungguh! 
Akhirnya pemilupun tiba. Tak seperti pesta demokrasi pada umumnya, Zahwa merasakan suasana yang lengang. "Jangan lupa untuk datang mengisi kotak suara!" pesan papa Kareem kemarin malang. Tetapi Zahwa hanya berkeliling dengan mobilnya. Pemilu macam apa ini, pikirnya ketika dilihatnya pasukan Israel turut mengawasi jalannya pemilu. Ia bertambah gusar saat mengetahui sebagian besar kandidat berasal dari partai Fatah, yang dipimpin Arafat. Padahal kantor pemilu juga dijalankan oleh orang-orang Fatah. Tidak ada komisi independen seperti yang semestinya terjadi. Zahwa merutuk dalam hati, pemilu macam apa ini! Sore harinya Zahwa tambah terkejut. Kotak suara hilang seusai pemungutan suara! "Di Nablus, ada kandidat independen yang dibunuh polisi Palestina ketika keluar dari kantornya!" kata Sarah sambil menyuapi anak-anaknya makan. "Sesuai skenario bersama AS-Israel, Arafat harus memenangkan Pemilu untuk menjaga proses 'perdamaian'. 
Kian lama logika politis seperti it kian mudah difahami oleh Zahwa. Tiba-tiba....BBBBRRRAAAAKK! BBRRAAKK! Zahwa, Sarah dan ketiga anaknya terkejut! Tiga orang mendobrak pintu! yang seorang berpakaian ala Hamas, berkaos lengan panjang dan mengenakan penutup muka. Dua yang lain mengenakan gamis putih dan sorban! Mereka bersenjata! "Yahudi pengecut! Bahkan harus menyamar untuk menangkapku!" teriak Sarah sinis. Zahwa terperangah. Refleks dipeluknya ketiga anak Sarah yang belum selesai makan itu. 
"Ikut kami jika tak ingin bernasib sama dengan Ayyash atau Mahmud!" ujar salah seorang sambil menarik lengan Sarah kasar. Sarah berontak! Meludahi orang-orang itu! Zahwa bergerak ingin membantu. Tapi...bagaimana? 
"Bawa anakku pergi! Cepaatt! Cepat Zahwa! Aku akan melawan mereka!" Zahwa bingung! Dilihatnya Sarah memukul, menggigit, menendang orang-orang itu! Dan ketika metanya menangkap kilatan pisau buah dikolong meja, Zahwa segera mengambilnya. 
"Simon, angkat anak2 itu!" teriak salah satu yahudi itu. "Kita tembak di depan ibunya..ha..ha..ha..!" Sekuat tenaga Zahwa berusaha melindungi Muhammad, Hisyam dan Haikal! CRESH! Ia berhasil melukai lengan yang bernama Simon! "Ummi! Um..mii.." 
Muhammad merangkul adik-adiknya, bersembunyi di balik kursi. "Bajingan semakin terdesak! Kini belasan tusukan menghujamnnya! Sarah terjerembab! Di sampingnya terbunuh pula seorang Yahudi! "Bajingan! Maju! Ayo maju!!" Zahwa histeris. Kedua orang Yahudi itu saling bisik. "Kita tinggalkan. Dia anak Kareem Abroro.." Dan mereka pun beranjak pergi. Terlambat! Dari belakang Zahwa meleparkan pisaunya! Tepat!! Seorang Yahudi lagi roboh! Sementara sisanya melarikan diri!! 
Kini di sudut ruangan dilihatnya ketiga anak Sarah menangis berpelukan. "Ummi syahid..., jangan terus..menangis," bujuk Muhammad. Dada Zahwa menggelegak! 
Tahukah papa, jumlah rakyat Palestina sekitar 4 juta jiwa. Sejuta di dalam dan 3 juta di luar Palestina. Dari sejuta penduduk itu hanya 48% yang mengikuti pemulu, kebanyakan pengikut Arafat. Jadi wajar bila ia menang 90% suara. Bila dihitung total, presiden Palestina in hanya didukung tak sampai 20% saja dari rakyatnya! Begitu pun diperolehnya dengan banyak..kecurangan." "Apa yang kau bicarakan?" 
"Slamat papa, kini papa telah mejadi dewan parleman!" kata Zahwa sinis. Kareem Abror mengernyitkan dahi, memandang anaknya aneh. Dan tiba-tiba... 
"Maaf.., tetapi saya akan..bergabung dengan HAMAS." suara Zahwa hampir tersekat di kerongkongan.  
"Apa? Zahwa..., kau...mereka bodoh dan gila! Mereka teroris!" "Jangan bodohi saya lagi, papa. Mereka pejuang! Dan bagi pejuang tak ada perdamaian tanpa keadilan! Adilkah namanya bila penjajah Yahudi Israel yang sama sekali tak memiliki hak atas negri ini, disambut bagai pahlawan kalau memberikan kita sepetak Jericho, Gaza dan Jenin!? Perdamaian bodoh. Ini komspirasi internasional terhadap ummat Islam!" 
"Keparat! Kurang ajar!" Kareem menampar Zahwa kuat-kuat! "Saya akan bergabung dengan mereka yang tak akan pernah menjual tanah airnya demi apa pun! Maafkan saya!!!" kata Zahwa tegar sambil mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Kareem Abror meludah dan membuang muka. "Pergi! Pergi dan jangan kembali !" katanya garang. Zahwa menatap wajah papa lama. Ia ingin menangis, tetapi kini bukan waktunya. Ya, ia tak akan menangis. Ia hanya perlu bangit dengan tenang dan berlalu dari situ. Muhammad, hisyam dan haikal tentu telah menunggunya. Lengang. 

Ada sudut mata kareem yang pedih memandang sosok berabaya hitam berjilbab putih itu dari jauh. "Zahwa, anakku.., kau benar," bisiknya. Maafkan aku ...yang tak pernah sangguuup..."